Kamis, 23 Agustus 2012

Jarak tak jelas nasibnya, tampillah biji nyamplung menggantikannya

Alam Indonesia tak pernah berhenti menawarkan peluang bisnis. Salah satunya adalah tanaman nyamplung yang sedang dikembangkan sebagai bahan baku minyak nabati. Meski masih dalam tahap pengembangan, tanaman ini mampu memberi keuntungan bagi para pengolah biji nyamplung menjadi minyak nabati atau biofuel

Indonesia memang terkenal dengan kekayaan alamnya. Matahari yang bersinar sepanjang tahun, beragam tanaman pun tumbuh subur di negeri ini. 

Salah satu tumbuhan yang memiliki potensi menjanjikan adalah nyamplung alias kosambi. Tanaman yang mempunyai nama latin Calophyllum inophyllumini dipilih sebagai sumber energi biofuel karena bijinya mengandung rendemen minyak tinggi. 

Biji kering nyamplung yang berbentuk bulat mengandung hampir 74% minyak. Kandungan minyak ini dua kali lipat lebih besar dari biji jarak dan bahkan semua tanaman penghasil bahan bakar nabati lainnya. 

Nyamplung bisa tumbuh hingga ketinggian 200 meter. Tanaman ini sangat mudah tumbuh di pesisir pantai, seperti Alas Purwo, Kepulauan Seribu, Ujung Kulon, Cagar Alam Penanjung Pangandaran, Pantai Carita, Semarang, Biak, Sorong, Nabire, Halmahera hingga Ternate. 

Ciri-ciri pohon nyamplung antara lain kayu berwarna cokelat, daunnya berbentuk bulat telur, dan bertulang sirip. Adapun buahnya bulat berdiameter 2,5-3,5 cm, berwarna hijau dan berubah cokelat jika kering. 

Salah satu warga yang mampu mengolah biji nyamplung menjadi minyak biofuel adalah Samino. Pria asal Cilacap, Jawa Tengah ini bisa memproduksi 1.000 liter minyak nyamplung per bulan. 

Memang, kapasitas produksi minyak nyamplung belum banyak. Pasalnya, konsumen minyak ini juga masih terbatas. "Hanya kampus-kampus saja yang membeli minyak olahan saya untuk bahan penelitian," kata Samino. 

Ia mengawali pembuatan minyak nyamplung ini sejak 2007. Saat itu, ia mendapat bantuan dari pemerintah berupa mesin untuk mengolah minyak nabati dari tanaman jarak. Namun rencana itu gagal total. Samino pun berinisiatif mencari-cari tanaman lain pengganti tanaman jarak. "Akhirnya, saya menemukan buah nyamplung yang bisa diolah seperti tanaman jarak," ujarnya.

Di sekitar tempat tinggalnya, nyamplung biasa diambil kayunya untuk membuat kapal. Kini setelah penemuannya, buahnya pun bermanfaat. Setelah penemuan itu, Samino pun mendapat banyak kunjungan dari mahasiswa hingga pejabat dari berbagai kementerian. 

Tak hanya kampus di Tanah Air yang memburu minyak nyamplung. Mahasiswa asal Malaysia pun menjadi pelanggannya. "Karena harganya masih mahal, minyak ini belum bisa bersaing dengan produk lainnya," tuturnya. 

Selain Samino, Feri Irawan juga mengolah nyamplung menjadi minyak nabati dalam dua tahun ini. Ia mengembangkan usaha ini melalui CV Permana Sejahtera di Semarang. Seperti Samino, konsumennya juga masih terbatas dari kalangan akademisi di Jawa dan Sumatra. 

Ia menjual produknya ini seharga Rp 17.500 per liter. Dalam sebulan, Feri bisa menangguk omzet hingga Rp 15 juta. Feri pun mengaku, mendapat margin keuntungan lumayan. "Saya mendapatkan biji nyamplung gratis dari beberapa lokasi di Semarang," kata Feri. 

Pria 40 tahun ini memang telah melakukan riset tentang biji nyamplung sejak 2008. Setahun proses penelitian itu, ia pun mampu menjadikan nyamplung menghasilkan minyak yang lebih tinggi daripada biji jarak. Namun, ia mengakui bahwa penelitian masih harus terus dikembangkan. "Teknologi terus berkembang, jadi harus terus dilakukan berbagai percobaan agar dihasilkan produk yang lebih baik," ujar alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.

Menurut Feri, sebelum diolah, biji nyamplung harus dijemur selama dua hari. Tapi, proses penjemuran ini jangan sampai membuat biji kering, karena yang penting biji memuai supaya siap digiling.

Setelah digiling halus, lalu diperas menggunakan mesin. Dari situlah keluar minyak berwarna cokelat kehitaman dan kental. Proses selanjutnya adalah mengolahnya dengan sejumlah bahan kimia, supaya warna cokelat kehitaman itu berkurang. Alhasil, minyak siap menjadi bahan bakar nabati.Oleh Ragil Nugroho, Hafid Fuad - 

Dephut Dorong Nyamplung Jadi Biodiesel

http://bumn.go.id/perhutani/berita/393
JAKARTA - Indonesia memang kaya floranya yang mencapai sekira 30 ribu spesies tanaman darat yang telah teridentifikasi. Buktinya, tidak hanya jarak pagar saja yang bisa menghasilkan biodiesel tapi juga pohon nyamplung (Calophyllum Inophyllum). Bahkan, kabarnya, minyak nyamplung lebih bagus daripada jarak pagar.

"Dalam kehutanan, pohon nyamplung menjadi pionir di daerah pesisir pantai sehingga bermanfaat untuk penahan abrasi pantai dan tsunami. Selain itu, di Cilacap, nyamplung sudah bisa diolah menjadi biodiesel," terang Bintoro, Kepala Bidang Analisis dan Informasi Departemen Kehutanan, baru-baru ini.

Satu-satunya pengusaha yang memanfaatkan nyamplung menjadi biodiesel ada di Cilacap, Jawa Tengah. Namanya Samino, Ketua Koperasi Jarak Lestari. Awalnya, dia mendapatkan mesin pengolahan biji jarak menjadi biodiesel oleh Departemen Perindustrian yang bernilai Rp1 miliar. 

Namun, karena nyamplung begitu melimpah di daerahnya, Samino mencoba menggunakan bijinya untuk diolah menjadi biodiesel. Hasilnya, cukup mengagumkan. Dari pengamatannya, 1 liter minyak bisa dihasilkan dari 2,5 kilogram nyamplung saja. Bandingkan dengan jarak yang membutuhkan 4 kilogram untuk menghasilkan 1 liter minyak.

Menurut Samino, pihaknya telah berbicara dengan Pertamina untuk dapat menampung produksi minyaknya untuk mengganti kerosin dan solar. Sayang, hingga kini belum ada jawaban dari Pertamina. Padahal harga yang dipatok Samino hanya Rp 5 ribu per liter. Artinya, masih lebih murah daripada solar yang kini mencapai Rp5.500 per liter.    

Sejatinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menginstruksikan Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban agar segera mengembangkan pohon nyamplung. Maklum, pengelolaan pohon yang juga disebut bintangur ini secara institusi baru ada di Jawa Tengah, tepatnya oleh Perum Perhutani Unit I.

Satu-satunya hutan nyamplung yang dikelola dengan profesional ada di Perum Perhutani Unit I KPH Kedua Selatan Jawa Tengah. Menurut Dwi Witjahjono, Administratur KPH Kedu Selatan, luas hutan nyamplung di wilayahnya mencapai 196 hektare. 

Pada 2009, Yoyok, begitu panggilannya, menargetkan penambahan luas hutan nyamplung menjadi 600 hektare. "Anggarannya sekira Rp 4 juta per hektare," jelasnya. Sampai kini, dia mengaku belum memanfaatkan nyamplung untuk menghasilkan biodiesel tapi baru sebatas perbanyakan. Tapi, ke depan, pihaknya berencana untuk memproduksi biodiesel sebagai salah satu pendapatan KPH Kedu Selatan. (Whisnu Arto Subari/Trust/mbs)

Nyamplung, BBN Yang Potensial

Suaramerdeka.com

KRISIS
 energi yang tengah dialami dunia, mendesak kita untuk menemukan dan mengembangkan energi alternatif. 


Disisi lain ancaman pemanasan global yang tak kalah pentingnya juga potensi bahaya Tsunami (terkait Indonesia sebagai negara kepulauan) mengharuskan kita untuk melakukan langkah antisipasi dengan segera. 


Kedua hal tersebut bisa diatasi dengan satu langkah yaitu menanam pohon Nyamplung (Calophyllum inophyllum L). sebagai bahan baku Biodiesel.


Di Jateng, Nyamplung banyak ditemui di sepanjang Pantai Selatan, terutama di Kabupaten Cilacap, Purworejo dan Kebumen. Di wilayah tersebut penanaman Nyamplung semula dititikberatkan sebagai upaya konservasi alam. 


Nyamplung yang mulai digalakkan penanamannya pada tahun 50-an bertujuan untuk pelindung pantai dari abrasi, penahan angin laut ke darat yang berpotensi menimbulkan berbagai penyakit bagi masyarakat yang tinggal di tepi pantai, tempat berteduh nelayan, penahan tebing sungai dan pantai dari longsor, pengendali intrusi dan penjaga kualitas air payau. 


Seiring dengan terjadinya Tsunami, maka Nyamplung menjadi berpotensi untuk penahan gelombang pasang. Sedangkan fungsi ekonomisnya adalah kayu Nyamplung bermanfaat untuk konstruksi rumah, perahu dan kayu untuk keperluan pertukangan. 


Biji Nyamplung yang berjatuhan umumnya dibiarkan begitu saja. Yang bagus bisa tumbuh menjadi pohon Nyamplung. Sehingga timbul jajaran pohon Nyamplung secara tidak sengaja. Kadang biji tersebut dimanfaatkan anak-anak untuk dibuat mainan semacam Gangsing. 


Saat pemerintah mencanangkan program Bahan Bakar Nabati (BBN) atau yang dikenal dengan biofuel, maka para pakar mulai meneliti tanaman yang dapat menjadi bahan bakunya. Akhirnya diketahui bahwa biji Nyamplung ternyata merupakan bahan baku biodiesel yang lebih baik daripada Jarak Pagar (Jatropha curcas).


Pengolahan biji Nyamplung sebagai minyak bakar (crude oil, kerosin) kini telah dilakukan Koperasi Tani ‘’Jarak Lestari’’, Kroya, Cilacap. Dengan menanfaatkan mesin untuk mengolah biji jarak -yang kini tersendat pasokannya, Koperasi tersebut mampu memperjelas keunggulan minyak Nyamplung dibandingkan minyak Jarak. 


Menurut Ketua Koperasi Jarak Lestari, Samino untuk memperoleh 1 L minyak Nyamplung hanya membutuhkan 2,5 Kg Nyamplung Kering, sedangkan untuk 1 L Minyak Jarak membutuhkan 4 Kg Jarak.


‘’Dari perbandingan ini saja, Nyamplung sudah menguntungkan, belum lagi kalau dibandingkan dengan ongkos produksinya,’’ kata Samino. 

Biji Nyamplung per kilo hanya Rp 700. Harga tersebut adalah harga sampai pabrik pengolahan. Sedangkan harga Jarak per kilo  antara Rp 3.000 sampai Rp 4.000,-. Dari sini bisa dibayangkan berapa ongkos produksi 1 liter minyak Jarak. 

Harga dan Kompor Khusus


Ongkos produksi 1 L minyak Nyamplung -setelah ditambah biaya upah pekerja pemecah biji Rp 500,- per kilo serta biaya pengolahannya menjadi kerosin (crude)- menurut Samino mendekati Rp 5.000, oleh karenanya kepada warga sekitar dijual Rp 5000. 


‘’Walau cuma Rp 5000, tapi harga minyak tanah di Kroya Rp 4.000, kalaupun paling tinggi, minyak tanah ya cuma Rp 4.500. Selain faktor harga, minyak Nyamplung juga membutuhkan kompor khusus, karena kapilaritasnya yang jelek,’’ papar dia.


Tangki penyuplai bahan bakar kompor minyak Nyamplung harus sejajar dengan ketinggian api pada kompor, ini jelas berbeda dengan kompor minyak tanah yang suplainya dari hasil rambatan minyak pada sumbu kompor.  


Dinas Kehutanan dan Perkebunan Cilacap juga tengah menggalakkan pembibitan di Desa Glempang Pasir, Kecamatan Adipala. Walaupun sudah memiliki wilayah potensi Nyamplung di Nusawungu, Adipala dan Binangun, langkah tersebut tetap dilakukan untuk mendukung program Gerhan yang dicanangkan tahun 2007 yaitu pembuatan Hutan Pantai. 


Dari 425 batang yang ditanam, terdapat 148.222 batang Nyamplung. Hutan Pantai selain bersifat ekologis juga berfungsi ekonomis, karena menumbuhkan pariwisata pantai. (Hartono Harimurti-59)
sumber: 
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/09/02/28912/Nyamplung-BBN-Yang-Potensial 

Rabu, 23 Februari 2011

Tentang Nyamplung

Botani
Klasifikasi
Djuisi : SpermatophylaSub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Guttiferales
Suku : Guttiferae
Marga : Calophyllum
Jenis : Calophyllum inophyllum L

Nama umum/dagang : Nyamplung
Nama daerah
Sumatera Eyobe (Enggano) Punaga (Minangkabau) Penago (Lampung) Nyamplung (Melayu)
Jawa Nyamplung (Jawa Tengah) Nyamplung (Sunda) Camplong (Madura)
Bali Camplong (Ball)Nusa Tenggara : Mantan (Bima) Camplong (Timor)
Sulawesi : Dingkalreng (Sangir) Dongkalan (Mongondow)
Maluku : Dunggala (Gorontalo) llambe (Buol) Punaga (Makasar) Pude (Bugis)Hatan (Ambon) Fitako (Ternate)
Deskripsi :
Pohon, tinggi ± 20 m.
Habitus
Batang Berkayu, bulat, coklat atau putih kotor.
Daun Tunggal, bersilang berhadapan, bulat memanjang
atau bulat telur, ujung tumpul, pangkal membulat,
tepi rata, perlulangan menyirip, panjang 10-21 cm,
lebar 6-11 cm, tangkai 1,5-2,5 cm. hijau.
Bunga Majemuk, bentuk tandan, di ketiak daun yang
teratas, berkelamin dua, diameter 2-3 cm, tujuh
sampai tiga be’as, daun kelopak empat, tidak
beraturan, benang sari banyak, tangkai putik
membengkok, kepala putik bentuk perisai, daun
mahkota empat, lonjong, putih.
Buah Batu, bulat, diameter 2,5-3,5 cm, coklat.
Biji Bulat, tebal, keras, coklat.
Akar Tunggang, bulat, coklat.
Khasiat :
Biji Calophyllum inophyllum berkhasiat sebagai urus-urus dan sebagai
obat rernatik.
Untuk urus-urus dipakai ± 2 gram, serbuk biji Calophyllum inophyllum,
diseduh dengan 1/2 gelas ai matang panas, setelah dingin disaring. Hasil
saringan diminum sekaligus.
Kandungan kimia :
Daun Calophyllum inophyllum mengandung saponin, flavonoida dan tanin

Pengembangan

Mesin pengolah minyak jarak itu sudah 4 bulan terdiam di sisi kanan halaman rumah. Saya, kesulitan bahan baku. Namun, sejak Februari 2008 mesin itu kembali bekerja. Bukan jarak yang ia olah, tetapi nyamplung menjadi biokerosin alias minyak tanah nabati. Untuk menghasilkan seliter biokerosin Saya memerlukan 2 kg bahan baku.

Di sekitar Karangmangu, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, banyak tumbuh nyamplung. Saya membeli buah nyamplung kering dari para pengumpul Rp650/kg. Itu jauh lebih murah daripada harga jarak yang mencapai Rp2.000/kg. saya menggiling 100 kg daging buah nyamplung kering setiap hari.

Dari 100 kg bahan baku Saya menghasilkan 50 liter biokerosin nyamplung atau rendemen mencapai 50%. Jumlah itu lebih tinggi ketimbang jarak yang hanya 25%. Hasil sebanyak itu tentu saja sangat ekonomis. Saya itu cukup mengeluarkan biaya bahan baku Rp2.000/l. Oleh sebab itu Saya optimis bakal memperoleh laba meski harga jual biokerosin nyamplung hanya Rp3.000-Rp4.500/l. Mesin Saya sejatinya berkapasitas 400 kg. Dalam sehari ia dapat 3 kali produksi atau total 1.200 kg.